Translate

Rabu, 04 September 2013

BANGUN DARI KUBANGAN MALAS


Grafik semangat seseorang tidak linier, tapi naik-turun. Absurd jika ada orang yang mengaku bahwa dirinya selalu berada di puncak semangat, tak pernah down sama sekali sepanjang hidupnya. Begitu pun sebaliknya. Api semangat terkadang berkobar, tak jarang pula redup. Di satu waktu seseorang begitu antusias mengerjakan sesuatu dan di waktu yang lain ia sangat enggan bersentuhan dengan aktivitas tersebut.
 
 Mungkin itulah yang kini melandaku. Ketika awal memasuki semester tujuh semangat belajarku menurun drastis. Penyakit malas menjangkitinya. Buku-buku yang terkait dengan mata kuliah kuabaikan. Jangankan mereview di luar kelas, selama jam kuliah saja aku tak fokus mendengarkan guru dan teman yang tengah mempresentasikan ide dan gagasan di depan kelas. Kondisi ini berbanding terbalik dengan semester-semester sebelumnya.

“Aku merasa, kuliahku di semester ini hanya formalitas. Berangkat ke kampus dengan setengah hati. Masuk kelas dengan keterpaksaan. Sumpah! Aku tidak lagi enjoy kuliah. Yang ada hanya malas, malas dan malas.” Itu kata-kata yang sering kulontarkan pada diriku sendiri dan teman-teman dekatku. “Aku ingin segera mengakhiri masa kuliah yang membosankan ini! Ya Tuhan....,” jeritku dalam hati.

Aku yang dulunya bersemangat sekali belajar, mendadak berubah 180 derajat. Aku yang biasanya berani menyuarakan pendapat, tiba-tiba sekarang cenderung diam. Aku malas bicara karena memang tidak sreg dengan hal-hal yang berbau kuliah. I’m bored. Sekali lagi, baginya kuliah di semester ini tak lebih dari formalitas belaka.

Ada apa sebenarnya denganku? Kenapa aku yang sebelumnya rajin berubah menjadi pemalas? Alasan apa yang mendasariku berbuat demikian?

Dengan enteng kujawab, “Aku tidak suka dengan sejumlah mata kuliah yang disajikan di semester tujuh ini. Sejak awal aku tidak menyukai profesi penegak hukum dan aku tak minat dengan segala yang berbau hukum pure. So, jangan salahkan aku jika aku membenci perkuliahan ini karena memang rata-rata mata kuliah yang diajarkan berhubungan dengan hukum. I hate it! Aku lebih suka berada di perpustakaan sambil membaca koran atau buku yang kusuka daripada sejam duduk di kelas mendengarkan ceramah dosen tentang konsep hukum yang tak sedikit pun kusuka. Aku lebih betah memelototi layar laptop daripada terpenjara di ruangan kelas.” Demikian alasan yang kuungkapkan terkait dengan kemalasanku.

Teman-teman yang mendengar keluhanku tentu memaklumi sebab mereka tahu bahwa aku tak bercita-cita menjadi aparat penegak hukum, seperti hakim, advokat dan lainnya. Namun aku berambisi menjadi writer. Lalu kenapa aku mengambil Jurusan Hukum? Apakah aku salah menentukan pilihan program studi saat mendaftar kuliah dulu? Tidak! Aku tidak salah memilih karena aku memang meminati kajian hukum –bukan pure law, tapi Islamic law. Dan Hukum Islam telah dikaji secara luas di semester-semester sebelum ini.

Terkadang aku merasa berdosa karena menyia-nyiakan sisa waktu kuliah yang tinggal beberapa bulan ini. Lebih-lebih rasa bersalahku kutujukan pada Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa penuh selama empat tahun menempuh S1 ini. Aku merasa belum bisa memanfaatkan uang beasiswa secara patut dan baik. Betapa banyak nominal rupiah yang kugunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat.

Sekedar tahadduts bi al-ni’mah, alhamdulillah sejak tahun 2007 aku masuk dalam daftar peserta program beasiswa santri berprestasi (PBSB). Para peserta PBSB ini tergabung dalam satu komunitas yang disebut dengan Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs (CSS MoRA). Mereka tersebar di dua belas perguruan tinggi negeri, seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Mataram, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UNAIR Surabaya, ITS Surabaya, IPB Bogor, ITB Bandung, UPI Bandung dan lain-lain.

“Kalau mahasiswa pada umumnya belajar sejam dalam sehari, maka kalian minimal tiga jam. Pokoknya kalian harus memiliki nilai lebih dibandingkan mereka yang tidak memperoleh beasiswa.”

Begitu kira-kira pesan yang disampaikan oleh salah satu pejabat Depag –aku lupa siapa– saat pertama orientasi pra kuliah di Kantor PU Surabaya tiga tahun silam. Pada pertemuan-pertemuan berikutnya aku beserta teman-teman lain sering diingatkan tentang kewajiban belajar yang harus kami tunaikan. Depag “menggaji” kami hanya untuk belajar. Dana yang dikeluarkan oleh Depag harus kami bayar dengan belajar.

Terus terang aku belum sepenuhnya melaksanakan kewajiban itu. Aku belum maksimal dalam belajar. Aku belum mempersembahkan yang terbaik untuk institusi yang mengirimku ke kampus ini. Inilah kesalahanku. Kesalahan ini makin berlipat ganda setelah aku menghadapi semester tujuh ini. Sungguh aku tidak semangat kuliah disebabkan mata kuliah yang ada tak kugandrungi.

“Maafkan aku....,” mohonku dalam hati.

Meskipun begitu aku selalu menghibur diri. Pada saatnya nanti aku akan memberikan yang terbaik kepada Depag. Tentu dengan caraku sendiri. Beberapa waktu lalu aku mendengar kabar menggembirakan sewaktu mengikuti acara Silaturrahim Santri CSS MoRA di ITS Surabaya. Bahwa ada seorang teman CSS MoRA yang sebentar lagi akan terbang ke Taiwan dalam rangka melanjutkan studi S2 di sana. Hebat. Selepas S1 dia langsung terbang ke luar negeri dengan mengantongi beasiswa pula. Prestasi ini sontak membuat Depag merasa sangat bangga.

Di atas kusinggung bahwa aku berambisi menjadi writer. Ya, rasa-rasanya duniaku ada di sini. Aku klop dengan tulis menulis. Dan suatu hari nanti aku ingin mencantumkan nama CSS MoRA di setiap karya tulis yang kubuat. Aku ingin Depag tersenyum bangga dan tak menyesal karena telah menguliahkan orang sepertiku. Lebih dari itu, aku ingin memberikan manfaat kepada orang lain melalui tulisan. Apakah keinginanku ini akan berwujud nyata atau sebatas khayalan di angan-angan? Wallahu a’lam.

Sama halnya dengan kuliah, belakangan ini aku terkena sindrom malas dalam menulis. Aku masih ingat akan himmah ‘aliyah-ku, tapi aku tidak kunjung sadar bahwa satu-satunya cara untuk meraihnya adalah dengan menulis yang didukung dengan kegiatan membaca. Sungguh, semester ini derajat kemalasanku menjulang tinggi.

Aku menyadari bahwa kemalasan akan membuatku gagal dalam meraih cita-cita. Tapi aku juga berat sekali untuk bangkit dari kubangan malas. Aku tidak istiqamah menulis, padahal aku tahu, menulis harus dilakukan setiap hari agar terbiasa menulis dan tulisan semakin berkualitas. Ah, benar-benar aku menjadi pemalas.

Dalam kondisi galau seperti ini aku butuh bahan bacaan yang bisa menggugah spiritku. Teringatlah aku pada sebuah buku motivasi berjudul Zero to Hero karya Solikhin Abu Izzudin. Semasa SLTA dulu aku pernah membaca buku ini dari hasil pinjaman teman sepesantren. Maklum kala itu aku suka nebeng pinjam karena memang aku tak punya cukup uang untuk membeli buku. Boro-boro buku bacaan, buku mata pelajaran saja harus kubayar dengan terseok-seok. Itu dulu. Sekarang alhamdulillah aku dapat melengkapi seluruh kebutuhan belajarku. Lagi-lagi berkat dana yang dikeluarkan oleh Depag. Hadza min fadhli Rabbi.

Menurutku, buku Zero to Hero patut dibaca oleh siapa pun yang mengharapkan kesuksesan di dunia dan akhirat. Kiat-kiat dan kisah-kisah inspiratif yang ada di dalam buku yang dicetak perdana pada Februari 2006 itu mampu mengobarkan semangat. Gaya bahasa sang penulis yang ringan dan renyah membuat mata tak bosan membaca dari satu halaman ke halaman berikutnya. It’s the inspiring book.

Oleh karena buku itu, aku mulai memetakan kembali tujuan hidup. Aku begitu terinspirasi ketika membaca kisah-kisah luar biasa para ulama salaf. Ali al-Thantawi yang membaca 100-200 halaman setiap harinya. Abu Bakar al-Anbari yang membaca sebanyak sepuluh ribu lembar dalam sepekan. Ibnu Jarir al-Thabari menulis empat puluh halaman kitab setiap hari. Subhanallah!

Mengetahui hal itu, aku langsung melakukan introspeksi diri. Betapa kerdilnya aku bila dibandingkan dengan orang-orang hebat seperti mereka. Antusias mereka terhadap ilmu pengetahuan sangat besar. Zaman dulu di saat teknologi tidak secanggih sekarang mereka rutin menyediakan waktu untuk menelaah ilmu. Sementara aku? Aku malu pada diriku sendiri. Malu karena belum bisa menjadikan mereka sebagai tokoh idola yang tindak tanduknya seyogianya menggugahku untuk menjadi makhluk yang lebih baik dan bermanfaat. Aku belum bisa meneladani mereka. Jangankan membaca dan menulis hingga puluhan halaman, setiap hari saja aku belum tentu menyentuh cover sebuah buku.

Akhirnya setelah membaca Zero to Hero, terbesit keinginan untuk membuat daily schedule. Daily schedule ini merupakan rekaman aktivitasku sehari-hari. Ada tiga kegiatan wajib yang tidak boleh kutinggalkan, yaitu studying, reading dan writing. Kolom-kolom yang ada di schedule tersebut harus kuisi agar aku tahu bagaimana perkembangan diriku dari waktu ke waktu.

Sebagai langkah awal, kucanangkan tiga program kecil, yakni dalam 24 jam aku harus mempelajari materi kuliah minimal setengah jam, membaca 10 halaman dan menulis 1 jam. Sengaja kupatok batas minimal yang tak memberatkan. Bagiku yang terpenting adalah istiqamah. Alhamdulillah, di hari pertama aku berhasil membaca lebih dari 50 halaman dan menekuri tulisan-tulisan ilmiah yang terkait dengan mata kuliah selama satu setengah jam.

Sebagai imbas positif lain dari buku Zero to Hero, aku tergugah untuk serius kuliah. Aku ingat sebuah cita-cita besar yang hampir saja terpendam dalam memori ingatanku. What’s it? Adalah cita-cita menyelesaikan kuliah bulan Maret nanti. Ya, semester lalu aku memang ingin sekali merampungkan studi S1 setengah tahun lebih cepat daripada mahasiswa pada umumnya. Untuk mewujudkan cita-citaku itu aku mulai memikirkan skripsi. Alhamdulillah, setelah melalui proses yang lumayan rumit, judul skripsiku di-ACC oleh Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan. Artinya, sangat mungkin sekali bila awal semester delapan nanti aku sudah menanggalkan status mahasiswa.

Semangat belajarku kian menggebu-gebu, baik belajar teori-teori di kampus maupun belajar menulis di luar kampus. Apalagi setelah orang tua memberitahukan kabar gembira via sms bahwa ada petugas pos yang mengantarkan piagam penghargaan untukku dari Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Walaupun tidak masuk dalam daftar nominator pemenang lomba karya tulis ilmiah pengembangan pendidikan pesantren, alhamdulillah aku masih menerima piagam penghargaan.

Namun sela tak lama kemudian badai kemalasan kembali menerjangku. Sifat malas merongrongku. Kali ini lebih parah daripada sebelum aku membaca buku Zero to Hero. Aku tak tahu kenapa penyakit itu dapat kembali menjangkitiku padahal benteng kokoh telah kubangun. Sure, I’m so lazy. Malas kuliah, malas membaca, juga malas menulis. Bab I skripsi yang semestinya sudah kugarap, sama sekali belum kusentuh. Buku-buku di lemari maupun e-book di netbook yang telah kusediakan, tak kujamah barang satu pun. Netbook tak kumanfaatkan untuk menulis. Kondisi ini berlangsung hingga sebulan lebih. Aku benar-benar malas! Astaghfirullah.

Di tengah deraian rasa malas, kutemukan satu pernyataan menarik berbahasa Arab di netbook-ku.

“..... Lakin al-kasl da’. Al-syabb idza istaula ‘alaih al-kasl fatathu al-furshah.
Akan tetapi, malas adalah penyakit. Seseorang yang terkalahkan oleh sifat malas, maka ia akan kehilangan momentum. (07.43 WIB)

Subhanallah! Kalimat itu betul-betul inspiratif seperti setiap kata yang diramu oleh Solikhin Abu Izzudin dalam bukunya Zero to Hero. Aku tersindir membacanya. Penyesalan pun tak terhindari. Aku menyesali ketololanku. Andai sejak awal semester tujuh aku rajin menulis, barangkali sudah ada ratusan halaman tulisan yang kuhasilkan seperti saat Ramadhan kemarin. Andaikan aku tak mementingkan egoku, barangkali sekarang aku bisa sedikit tenang lantaran Bab I skripsi sudah tuntas kugarap atau malah sudah mencapai Bab II. Andai semenjak dulu aku serius menelaah buku dan kitab, mungkin kualitas intelektualku tak serendah sekarang. Amboi, aku menyesal!

Penyesalanku tak berarti apa-apa jika hanya terucap di bibir dan tertulis di sini. Kini meski dengan terseok-seok, aku berusaha memperbaiki diri. Aku berusaha bangun dari kubangan sifat malas. Mumpung masih muda dan masih diberi kesempatan hidup, aku berusaha memanfaatkan sisa waktu yang ada ini dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah meluruskan niatku dan memudahkan segala urusanku. Amin....

Aku berdoa sebagaimana Rasul dulu berdoa. Allahumma inni a’udzu bika min al-‘ajz wa al-kasl. Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari ketidakberdayaan dan kemalasan. Amin......
***
Sebagai epilog tulisan ini, aku ingin berbagi informasi yang mudah-mudahan dapat menyemangati kita. Perbedaan mendasar antara orang sukses dan orang gagal terletak pada proses dan hasil. Orang sukses menyukai hasil yang menyenangkan, sedangkan orang gagal menyukai proses yang menyenangkan.

Apabila sekarang kita cenderung pada proses yang menyenangkan, maka bersiap-siaplah kita menjadi orang yang gagal di masa depan nanti. Dan kemalasan dapat dikategorikan sebagai proses yang menyenangkan. Untuk itu, mari kita perangi musuh besar bernama malas. Mari kita bangun dari kubangan malas. Jangan sampai kita menjadi budak kemalasan.

Bila kita belum mampu menyingkirkan sifat malas dari diri kita, barangkali buku Zero to Hero dapat menjadi alternatif solusi. Bagi saya, buku yang dicetak ulang hingga sebelas kali pada Juni 2008 itu laik dibaca oleh siapa saja. Aku menemukan banyak hikmah dari buku setebal 300 halaman itu. Termasuk penulisan kisah ini jua terinspirasi dari buku itu.

Finally, keep spirit! Keep spirit! Keep spirit! Say no to lazy! Don’t be lazy! Malas tak ubahnya seperti penyakit yang akan mendatangkan mala petaka dalam hidup kita. Mari kita bersama-sama bangkit dari kemalasan. Semoga Allah meridhai kita. Amin...



Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bermanfaat. Tak ada kebahagiaan bagi seorang penulis kecuali tatkala tulisannya mampu menggetarkan para pembaca.
 
 

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories